Ahmad Tamimi : Anggota Bawaslu Inhil |
OPINI - Sengaja tulisan ini dibuat untuk
mensugesti sikap politik masyarakat yang selama ini terkesan kurang menghargai
amanat kedaulatan yang diberikan negara kepadanya (pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Lemahnya kualitas partisipasi dalam
menggunakan hak pilih karena
terjebak dalam pragmatisme politik jangka pendek membuat agenda pemilu kurang
berintegritas.
Mekanisme pemilu yang
tersedia sejatinya adalah untuk menyalurkan aspirasi dan hak politik rakyat
malah menjadi semacam fasilitasi agenda
elit untuk mengakses kekuasaan lewat kesepakatan suci (konsitusi) dan
masyarakat hanya menjadi saluran lalulintas kekuasaan itu.
Dalam
waktu bersamaan, antara elit dan masyarakat tidak pernah menyatu ke dalam visi
idelogis untuk kebaikan negara-bangsa,
yang terjadi malah saling genit
menyuburkan budaya politik pragmatis, antara satu dengan lainnya saling
memakan dan memanfaatkan. Satu sisi dirasa saling menguntungkan, namun
sebenarnya merusak tatanan dan berlawanan arah dari nilai agama, moralitas dan
norma yang berlaku.
Jika konsepsi hakikat
kedaulatan tidak dibumikan pada jiwa setiap warga dan elit politik kita,
maka bukan saja dapat menghambat pembangunan tapi juga merusak tatanan dan
sendi-sendi demokrasi kebangsaan
sekaligus menjadi ancaman karena membangun budaya demokrasi politik berbalut
materi yang dapat menghilangkan kemurnian
aspirasi. Inilah yang menjadi alasan kenapa topik
ini menjadi urgen untuk diketengahkan.
Amanat
Daulat Rakyat
Melalui
gerakan HAM dan Demokrasi, manusia berjuang mempertahankan harkat martabatnya dalam kehidupan, dan hingga saat
ini, konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin
harkat martabat kemanusiaan. Demokrasi dan HAM saling berkaitan, karena HAM
hanya akan terealisasi dalam sistem politik yang demokratis.
Tak bisa
dibayangkan jika kehidupan bernegara saat ini dikelola dengan sistem politik
totaliter, otokrasi, oligarki, dan diktator, yang mana kekuasaan dipegang oleh satu
tangan, mereka yang membuat sistem dan mereka pula yang menetukan siapa-siapa
yang menempati posisi dan kebijakan itu tanpa melibatkan rakyat. Kekuasaan yang
dipegang oleh satu tangan rentan dengan sewenang-wenangan karena menutup keran demokrasi dan sistem hukum di dalamnya yang melindungi hak persamaan,
kesetaraan dan kebebasan.
Oleh
karena itu, untuk Indonesia selayaknya kita bersyukur atas anugerah demokrasi
telah dipilih menjadi sistem politik, karena konsepsi demokrasilah yang
memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan
derajat manusia.
Demokrasi juga telah menempatkan manusia sebagai pemilik
daulat yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan rakyat. Oleh
karenanya, Soekarno menegaskan bahwa demokrasi adalah “pemerintahan rakyat” cara pemerintahan
ini memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut pemerintahan”.
Dasar
pemikiran ini kemudian tertuang dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang”. Artinya, negara Indonesia telah
memposisikan rakyat sebagai tuan dalam penyelenggaraan. Maka, pada pasal 22E ayat 1 UUD 1945 dijelaskan asas pelaksanaan bahwa
Pemilu dilaksanakan secara lansung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap
lima tahun sekali.
Semangat ini yang kemudian diimplementasikan
lewat agenda pemilu, sehingga dalam konsep dasar
pemilu pada ketentuan umum Undang-undang nomor 7 tahun 2017 dijelaskan bahwa
pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden dan wakil
presiden, DPR, DPD dan DPRD secara lansung, umum, bebas, rahasia, serta jujur
dan adil berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Jadi,
pemilu merupakan mekanisme yang disediakan negara kepada setiap individu warga
untuk menyalurkan hak pilihnya guna mengangkat pemimpin dan wakil sebagai
tempat mereka berwakil dalam menyelenggarakan segala urusannya.
Dengan demikian, pemilu merupakan bentuk nyata dari
pelaksanaan ide demokrasi sekaligus bukti bahwa negara telah mengakui dan menghargai
keberadaan setiap warga sebagai pemegang kedaulatan tertinggi tanpa memandang
latar belakang dan pendidikan, hak dan nilai partisipasi itu derajatnya sama
dengan semua. Selanjutnya bagaimana pengakuan, penghargaan serta amanah
kedaulatan ini dimaknai dan digunakan rakyat secara bernilai, sehingga dapat
memberi efek positif bagi pemabangunan.
Realitas
dan Orientasi Kedaulatan
Hambatan terbesar untuk mewujudkan pemilu berkualitas
ialah dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman dan
kesadaran sebagai warga dalam kerangka nasionalisme. Pada aspek pemahaman, bahwa demokrasi dalam bentuk
pemilihan lansung akan mendapatkan hasil yang berkualitas jika diterapkan di
tengah masyarakat yang pendidikan dan pemahamannya baik, karena individu
sendiri yang menentukan pilihan dengan prinsip lansung, bebas dan rahasia. Kemudian di aspek kesadaran,
yaitu sulitnya membangun kesadaran kolektif masyarakat bahwa ia telah diberi daulat penentu oleh konstitusi untuk melahirkan kekuasaan
berkualitas, bagaiaman kemudian ia gunakan hak tersebut secara berkualitas.
Efek dua hambatan besar ini banyak memicu turunan persoalan-persoalan lainya, seperti prilaku
politik uang, informasi hoax, isu black campign, politisasi identitas yang
mengandung SARA, tipe pemilih sosiologis dan
psikologis. Prilaku ini dapat
mengganggu kemurnian suara yang seharusnya
ia berpandu pada pertimbangan akal dan nurani,
namun karena lemahnya daya saring diri
sehingga mereduksi kualitas suara (daulat).
Kualitas
demokrasi melalui pemilu akan dapat dirasakan untuk pembangunan, jika mayoritas
masyarakat sudah sadar untuk berpartisipasi, dan mayoritas yang berpartisipasi
itu sudah bisa menetukan hak dan arah suaranya dengan cara mikir (pemilih rasional),
sehingga dapat menghasilkan sosok yang bisa mikir dengan kesadarannya itu.
Di alam demokrasi, pemimpin
dan masyarakat adalah
sebuah kausalitas yang tak terpisah ibarat cermin,
kualitas pemimpin adalah gambaran nyata
dari kualitas masyarakatnya, sebaliknya kualitas masyarakat juga cerminan dari
kualitas pemimpinnya, karena dalam persfektif demokrasi lansung, masyarakatlah
mesin produksi kepemimpinan itu, dan pasca proses pemilihan, pemimpin itulah
yang menentukan kualitas kehidupan masyarakat yang dipimpinnya, oleh karena
itu, kesadaran kolektif antara peserta dan masyarakat untuk pembangunan perlu
diperjelas, lalu dipertegas lewat sikap politik yang lebih berideologi yaitu
semata untuk mewujudkan amanat yang tertuang pembukaan dalam UUD 1945,
ini menjadi orientasi yang hakiki dalam konstiusi kita sebagai kiblat bersama.
Sejak
pemilu pertama pada tahun 1955 hingga 2019 lalu, Indonesia telah tercatat 12
kali melaksanakannya dan akan memasuki kali yang ke-13 pada tahun 2024
mendatang, hendaknya terhadap rekam jejak yang telah sudah dapat menghantarkan
kita pada satu kesimpulan penting tentang bagaimana demokrasi dan pemilu itu
dijalani dan bagaimana pula efektifitasnya untuk pembangunan selama ini sehingga
ada pendewasaan sikap politik masyarakat dalam menggunakan hak daulat yang
telah diamanahkan oleh konsitusi.
Hak
daulat adalah sesuatu yang sakral, ia harus disalurkan secara bernilai dan
bukan malah dijual atau ditentukan secara irrasional, karena daulat menyangkut
hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya, mari membangun dengan mengedepankan
kualitas berpartisipasi murni pada pemilu, yaitu dengan sikap sadar tentang
peran dan tanggungjawab untuk negara-bangsa, dengan senantiasa berpedoman
kepada ideologi negara, nurani, akal dan pengetahuan sehingga dapat melahirkan
kekuasaan yang bermutu sekaligus untuk menghindari agar demokrasi tidak dimanipulasi. Semoga kedepan agenda
pendidikan politik terpadu dapat menjadi solusi kebijakan sehingga pemaknaan
dan partisipasi atas hak daulat yang diberi tidak dialih fungsi. (*)