OPINI - Bank Syariah yang kita kenal di
Indonesia saat ini, mulai dari Bank Muamalah hingga yang terupdate Bank Syariah
Indonesia (BSI) merupakan sebuah hasil pergulatan ijtihadi dan perjuangan
sektor finansial yang tidak mudah. Banyak fase suram yang telah dilewati dengan
beragam kondisi politik, ekonomi, hukum dan sosial hingga intervensi luar
negeri. Walhasil, umat Islam memiliki rumah ekonomi sektor keuangannya dalam
bentuk BSI.
Fenomena yang sama juga dihadapi
oleh negara-negara Islam atau mayoritas muslim lainnya. Pakistan malah memulai
dengan kegagalan. Negara-negara lain justru menjadi pragmatis akibat kegagalan
yang terjadi. Namun kemudian jalan terbuka setelah Mesir berhasil membuat
terobosan yang akhirnya dapat diikuti oleh negara-negara Islam lainnya,
sekalipun, tantangan-tantangan yang silih berganti datang menghadang. Bagaimana
rekam sejarah perbankan Islam masa modern, di dunia dan di Indonesia? Berikut
kilasannya.
Kemunculan Perbankan Syariah
Modern
Dalam keuangan Islam, bunga uang
digolongkan sebagai riba yang artinya haram. Di tengah maraknya praktek bunga
dalam dunia perbankan dunia maka, di beberapa negara Islam dan mayoritas
Muslim, muncul suara dan keinginan pendirian
lembaga perbankan alternatif non-ribawi. Melihat idenya untuk keluar dari
mekanisme suku bunga, pendirian Bank Syariah pada awalnya menimbulkan banyak
keraguan. Situasi ini muncul karena sistem perbankan bebas bunga adalah konsep
yang tidak mungkin dan tidak biasa dan dengan demikian menimbulkan pertanyaan
bagaimana bank syariah akan membiayai operasi mereka di masa depan.
Konsep teoritis perbankan syariah
pertama kali muncul pada tahun 1940-an dengan ide bank bagi hasil. Dalam hal
ini, bank bagi hasil merupakan ide dari banyak para ilmuan Islam termasuk
diantaranya Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952).
Upaya pertama dilakukan oleh
Pakistan. Pakistan mendirikan bank bebas bunga untuk mengelola dana haji pada
pertengahan 1940-an namun tidak begitu berhasil. Langkah selanjutnya dalam
membangun operasi perbankan Islam yang paling sukses dan inovatif di zaman
modern adalah di Mesir pada tahun 1963 dengan pendirian Bank Tabungan Lokal Mit
Ghamr. Bank ini populer di kalangan petani dan masyarakat pedesaan. Sayangnya,
karena gejolak politik di Mesir, Mit Ghamr mulai menurun drastis sehingga
operasinya diambil alih oleh Bank Nasional Mesir dan Bank Sentral Mesir pada
tahun 1967. Pengambilalihan tersebut mengakibatkan pengabaian prinsip tanpa
bunga yang telah dilakukan oleh Mit Ghamr, sehingga bank ini kembali beroperasi
dengan basis bunga. Konsep bebas bunga akhirnya dihidupkan kembali pada masa
rezim Sadat pada tahun 1971 dengan berdirinya Nasser Social Bank. Tujuan bank
adalah membuka kembali bisnis di bawah filosofi praktik yang pernah berhasil
dilakukan oleh Bank Mit Ghamr.
Ulama jumhur
(mayoritas/mayoritas) sepakat bahwa bunga bank adalah riba dan karenanya haram.
Pada Konferensi Kajian Islam di Kairo, Mesir pada Mei 1385 Hijriah atau Mei
1965, 150 ulama besar sepakat bahwa semua hasil pinjaman dalam bentuk apapun
dilarang, termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional juga telah
mengeluarkan fatwa pelarangan bunga bank.
Para ulama seperti Abu Zahrah,
Abu 'ala al-Maududi, Abdullah al-'Arabi, dan Yusuf Qardhawi telah menyatakan
bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba yang dilarang dalam Islam. Oleh
karena itu, umat Islam tidak boleh melakukan transaksi dengan bank yang
menggunakan sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau tidak dapat
dihindari. Menurut Yusuf Qardhawi, tidak ada yang namanya keadaan darurat atau
keadaan yang tidak dapat dihindari, dan beliau secara mutlak melarangnya.
Al-Syirbashi mendukung pandangan ini, dengan menyatakan bahwa bunga yang diperoleh
dari menyimpan uang di bank adalah riba, baik dalam jumlah kecil maupun besar.
Namun, dalam situasi darurat, agama memperbolehkan meminjam dari bank dengan
bunga.
Keberhasilan Bank Mit Ghamr
menginspirasi umat Islam di seluruh dunia, meningkatkan kesadaran bahwa
prinsip-prinsip Islam masih dapat diterapkan dalam bisnis modern.
Ketika OKI akhirnya didirikan,
serangkaian konferensi internasional diadakan, salah satunya difokuskan pada
pendirian bank Islam sebagai bagian dari agenda ekonominya.
Bank Islam swasta pertama adalah
Dubai Islamic Bank, yang didirikan pada tahun 1975 oleh sekelompok pengusaha
Muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977, Faysal Islamic Bank di Mesir dan
Sudan serta Kuwait Finance House di Kuwait didirikan.
Secara internasional,
perkembangan perbankan syariah pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada
Pertemuan Tingkat Menteri Organisasi Konferensi Islam tahun 1970 di Karachi,
Pakistan, Mesir mengusulkan pembentukan Bank Islam Internasional untuk
Perdagangan dan Pembangunan dan Federasi Bank Islam untuk menggantikan sistem
keuangan berbasis bunga dengan skema bagi hasil. Hal ini mengarah pada
pembentukan Bank Pembangunan Islam (IDB) pada bulan Oktober 1975 dengan 22
negara Muslim sebagai pendiri. IDB memberikan bantuan keuangan kepada
negara-negara anggotanya, membantu mendirikan bank-bank Islam, dan memainkan
peran penting dalam penelitian ekonomi, perbankan, dan keuangan Islam. Kini,
bank yang berbasis di Jeddah ini memiliki lebih dari 56 negara anggota.
Pada tahun 1970-an, upaya untuk
mendirikan bank-bank Islam menyebar ke banyak negara. Beberapa negara, seperti
Pakistan, Iran, dan Sudan, mengubah seluruh sistem keuangan mereka menjadi
bebas bunga, sehingga seluruh lembaga keuangan di negara-negara tersebut beroperasi
tanpa bunga. Di negara-negara Muslim lainnya seperti Malaysia dan Indonesia,
bank-bank bebas bunga beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional.
Saat ini, perbankan syariah telah
berkembang pesat dan menyebar ke banyak negara, termasuk negara-negara Barat
seperti Denmark, Inggris, dan Australia, yang berlomba-lomba menjadi Pusat
Keuangan Syariah Dunia dengan membuka bank syariah dan jendela syariah untuk
memberikan layanan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Awal Mula Perbankan Syariah di
Indonesia
Bank di Indonesia didirikan pertama kali pada zaman
penjajahan Belanda. Bank-bank yang beroperasi saat itu antara lain: De Javasche
NV, De Post Paar Bank, Dealgemene Volks Crediet Bank, Nederland Handels
Maatschappij (NHM), De Escomto Bank NV, Bank Nasional Indonesia, Bank Abuan
Saudagar, NV Bank Boemi, The Charteredbank of India, The
Yokohama Species Bank, The Matsui Bank, The Bank of China, dan Batavia Bank.
Pada zaman
kemerdekaan, dunia perbankan semakin berkembang dengan didirikannya bank-bank
baru dan terjadi nasionalisasi beberapa bank Belanda oleh pemerintah Republik
Indonesia. Bank-bank yang beroperasi saat itu adalah Bank Rakyat Indonesia yang
didirikan pada tanggal 22 Februari1946 yang dahulunya bernama De Algemene Volks Crediet Bank atau Syomin
ginko, Bank Negara Indonesia yang didirikan pada tanggal 05 Juli 1946 (BNI 1946), Bank
Surakarta Maskapai Adil Makmur di Solo pada tahun 1945, Bank Indonesia di Palembang
pada tahun 1946, Bank Dagang Nasional Indonesia di Medan tahun 1946, Indonesian
Banking Corporation di Yogyakarta tahun 1947 dan beberapa bank lainnya.
Deregulasi sektor perbankan di Indonesia dimulai pada tahun
1983, ketika Bank Sentral Indonesia (BI) mengizinkan bank-bank untuk menetapkan
tingkat suku bunga mereka sendiri. Pemerintah berharap bahwa deregulasi ini
akan menghasilkan industri perbankan yang lebih efisien dan lebih kuat,
sehingga dapat mendukung perekonomian. Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia
telah merencanakan untuk menerapkan sistem "bagi hasil" untuk
pemberian kredit, berdasarkan konsep perbankan syariah.
Pada tahun 1988, pemerintah
mengeluarkan Paket Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yang membuka sektor
perbankan untuk bisnis untuk mendukung pembangunan (liberalisasi sistem
perbankan). Sementara lebih banyak bank konvensional bermunculan, beberapa
usaha perbankan syariah lokal juga mulai bermunculan.
Inisiatif untuk mendirikan bank
syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi tentang
Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba, konsep perbankan syariah
dipraktekkan dalam skala yang relatif kecil, termasuk di Bandung (Bait
At-Tamwil Salman ITB) dan Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).
Pada tahun 1990, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) membentuk sebuah kelompok kerja untuk mendirikan sebuah bank
syariah di Indonesia. Pada tanggal 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan
lokakarya perbankan dan keuangan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya
ini kemudian dibahas lebih lanjut dalam Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta
pada tanggal 22-25 Agustus 1990 yang menghasilkan mandat pembentukan kelompok
kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut
Tim Perbankan MUI yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan
semua pihak terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan
MUI, bank syariah pertama di Indonesia, PT Bank Muamalat Indonesia (BMI),
didirikan. Menurut dokumen pendiriannya, BMI didirikan pada tanggal 1 November
1991. Sejak 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp
106.126.382.000,-.
Pada awal operasionalnya,
kehadiran bank syariah belum mendapatkan perhatian yang optimal di sektor
perbankan nasional. Dasar hukum beroperasinya bank dengan sistem syariah pada
saat itu hanya diakomodir dalam satu ayat tentang "bank bagi hasil"
dalam UU No. 7 tahun 1992, tanpa dasar hukum syariah secara rinci dan
jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.
Pada tahun 1998, pemerintah dan
DPR menyempurnakan UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10 tahun 1998 yang secara
eksplisit menjelaskan bahwa perbankan di Indonesia dapat memiliki dua sistem
(dual banking system), yaitu perbankan konvensional dan perbankan syariah.
Peluang ini disambut baik oleh kalangan perbankan, ditandai dengan berdirinya
beberapa bank syariah, antara lain Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga,
Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Aceh, dll.
Disahkannya beberapa produk hukum
yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan
syariah, seperti: (i) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU
No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU
No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN
Barang dan Jasa. Dengan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang terbit pada tanggal 16 Juli 2008, pengembangan industri perbankan
syariah nasional memiliki landasan hukum yang lebih memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya lebih cepat lagi. Dengan perkembangannya yang cukup mengesankan,
dengan rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% per tahun dalam lima tahun
terakhir, diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung
perekonomian nasional akan semakin signifikan. Lahirnya UU Perbankan Syariah
mendorong peningkatan jumlah BUS dari 5 menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang
dari dua tahun (2009-2010).
Sejak pengembangan sistem
perbankan syariah di Indonesia dimulai, telah banyak pencapaian dalam
pengembangan keuangan syariah nasional dalam dua dekade terakhir, termasuk
kemajuan dalam kelembagaan dan infrastruktur pendukung, sistem regulasi dan
pengawasan, serta kesadaran dan literasi masyarakat mengenai layanan keuangan
syariah. Sistem keuangan syariah Indonesia diakui sebagai salah satu yang
terbaik dan terlengkap di dunia internasional. Per Juni 2015, industri
perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang
dimiliki oleh bank konvensional, dan 162 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan
total aset sebesar Rp. 273.494 Triliun dan pangsa pasar sebesar 4,61%. Di
provinsi DKI Jakarta, total aset bruto, pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga (Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) masing-masing sebesar Rp. 201.397 Triliun,
Rp. 85.410 Triliun, dan Rp. 110.509 Triliun.
Pada akhir tahun 2013, pengaturan
dan pengawasan perbankan dialihkan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan. Dengan demikian, pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga
beralih ke Otoritas Jasa Keuangan. Sebagai otoritas sektor jasa keuangan,
Otoritas Jasa Keuangan terus menyempurnakan visi dan strategi kebijakan
pengembangan sektor keuangan syariah yang dituangkan dalam "Roadmap
Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019" yang diluncurkan pada acara Pasar
Rakyat Syariah 2014. Roadmap ini diharapkan dapat menjadi pedoman arah
pengembangan dan memuat inisiatif strategis untuk mencapai target-target
pengembangan yang telah ditetapkan.
Merger Perbankan Syariah di
Indonesia (BSI)
Industri perbankan Indonesia
mencatatkan sejarah dengan hadirnya PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) yang
secara resmi berdiri pada tanggal 1 Februari 2021. Presiden Joko Widodo
meresmikan bank syariah terbesar di Indonesia ini di Istana Negara.
BSI merupakan hasil penggabungan
usaha (merger) antara PT Bank BRIsyariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri, dan PT
Bank BNI Syariah, dan telah mendapatkan izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan
pada 27 Januari 2021.
Pemegang saham BSI terdiri dari
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar 50,83%, PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk sebesar 24,85%, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebesar
17,25%, dan pemegang saham lainnya masing-masing kurang dari 5%.
Penggabungan usaha ini menyatukan
kekuatan dari ketiga bank syariah tersebut, menawarkan layanan yang lebih
komprehensif, jangkauan yang lebih luas, dan kapasitas permodalan yang lebih
baik. Dengan dukungan dari pemerintah dan sinergi dengan berbagai perusahaan,
BSI siap untuk bersaing secara global.
BSI merupakan pencapaian yang
membanggakan bagi masyarakat Islam, yang diharapkan dapat membawa energi baru
bagi pembangunan ekonomi nasional dan berkontribusi bagi kesejahteraan
masyarakat luas. Keberadaan BSI juga menjadi cerminan perbankan syariah modern
dan universal di Indonesia yang memberikan manfaat bagi semua kalangan.
BSI memiliki potensi untuk terus
berkembang dan menjadi bank syariah terkemuka di dunia. Selain kinerja yang
positif, misi pemerintah Indonesia untuk membangun ekosistem industri halal dan
memiliki bank syariah nasional yang besar dan kuat, serta status Indonesia
sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar, juga memberikan peluang.
Langkah Menuju Konsolidasi
Perbankan Syariah di Indonesia
-
Pada tahun 2016, Otoritas Jasa Keuangan membuat
peta jalan untuk pengembangan keuangan syariah.
-
Pada tahun 2019, OJK mendorong konsolidasi
bank-bank syariah dan unit usaha syariah milik pemerintah, termasuk Bank
Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank BRI Syariah, Unit Usaha Syariah, dan
Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
-
Pada tanggal 2 Juli 2020, Menteri Badan Usaha
Milik Negara, Erick Thohir, berencana untuk menggabungkan bank-bank syariah
milik pemerintah yaitu BRI Syariah, BNI Syariah, BTN Syariah, dan Mandiri
Syariah.
-
Pada bulan Oktober 2020, pemerintah secara resmi
mengumumkan rencana penggabungan tiga bank syariah Himbara: Mandiri Syariah,
BNI Syariah, dan BRI Syariah.
-
Pada tanggal 11 Desember 2020, konsolidasi
bank-bank syariah Himbara menetapkan perusahaan hasil merger sebagai PT Bank
Syariah Indonesia Tbk.
-
Pada tanggal 27 Januari 2021, OJK secara resmi
menerbitkan izin penggabungan usaha dengan nomor SR-3/PB.1/2021.
-
Pada tanggal 1 Februari 2021, Presiden Jokowi
meresmikan PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau Bank Syariah Indonesia (BSI).
Demikian, lantas apakah kita,
sebagai muslim, harus total berbondong-bondong meninggalkan perbankan
konvensional dan memindahkan semua aset dan praktek ekonomi kita ke institusi
perbankan syariah ? Ini diskusi yang lain. Wallahu a’lam bishowab.
Penulis:
Dr. Sofiandi, Lc., M.H.I.
Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research, Reserach Fellow di
IRDAK Institute of Singapore, Dosen IAI Arrisalah, Anggota Dewan Masjid
Indonesia, Anggota ICMI Prov. Kepri, Pemimpin Redaksi ACADEMICS TV, Direktur Swara Akademika Indonesia
Foundation.